CURHATANMAHASIKSA- Dalam pembahasan ini para pemikir terkemuka seperti Plato, Augustinus, Anselmus, Thomas Aquinas, Scotus, Ockham, Leibniz dan Newman, diperhadapkan dengan permasalahan mengenai pertanyaan sekitar eksistensi Allah dalam dunia dan hidup manusia. Apakah Allah yang dikatakan oleh manusia itu benar-benar nyata keberadaannya atau kehadirannya di dunia dan di hidup manusia? Ataukah Allah itu hanyalah hasil imajinasi dari pikiran manusia belaka untuk mencari 'kenyamanan' dan menghindar dari penderitaan? Dalam buku ini dibahas mengenai pencarian dan pembuktian manusia akan eksistensi Allah. Tetapi pembuktian ini disempitkan pada pemikiran para filsuf-teolog zaman Patristik dan abad pertengahan yakni Augustinus, Anselmus dan Thomas Aquinas. Dari ketiga pemikir ini, akan dijelaskan pembuktian-pembuktian mereka tentang eksistensi Allah.
Pembuktian Santo Augustinus ( 354-430)
Agustinus mencoba membuktikan adanya Allah dengan menekankan bahwa manusia mampu mengerti kebenaran. Ada tiga tahap menurut Augustinus:
Manusia mengenal dunia, tetapi dunia tidak mengenal manusia: manusia 'lebih besar' daripada dunia. Manusia menilai dunia, oleh sebab itu manusia adalah ukuran dan tuan atas seluruh ciptaan. Untuk mengerti dunia dan dirinya sendiri, manusia harus terjun ke dalam dirinya sendiri.
Manusia mengerti suatu kebenaran, dia berhadapan dengan sebuah misteri. Manusia tidak dapat menentukan kebenaran dengan sewenang-wenang, karena kebenaran itu lebih besar dari pada manusia. Manusia hidup dalam kebenaran dan dia mengenal kebenaran hanya sedikit demi sedikit. Pengertian manusiawi merupakan partisipasi kebenaran yang sungguh-sungguh.
Ada kebenaran yang lebih besar daripada manusia. Manusia menemukan kebenaran, tapi tidak menentukan kebenaran.
Namun dalam 'perjalanannya', setelah Augustinus, muncul kritik atas argumentasinya ini. Bahwa Augustinus tidak membedakan antara tingkat logis dan ontologis, tingkat berpikir dan tingkat kenyataan. Kebenaran merupakan istilah untuk relasi antar bidang logika dan bidang kenyataan, relasi dari keduanya ini tidak dapat dipakai hanya untuk satu wilayah saja. Bagi Augustinus (dan Neo-Platonisme) tidak ada pembedaan murni antara bidang berpikir dan kenyataan: 'mengada', 'hidup', dan 'mengetahui'. Ketiganya merupakan 'tingkat dalam satu kenyataan'. 'Mengada' tingkat yang paling rendah, sedangkan 'mengetahui' yang paling tinggi. Tingkat 'berpikir' tidak merupakan bayangan dari tingkat 'mengada'. Tetapi ada kesukaran yang lain.
Editor : Apey