Oleh: Akbar Pelayati (Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Makassar )
Curhatan Mahasiksa - Di tengah kemajuan teknologi yang semakin pesat di tahun 2024-2025, kita tak bisa menghindari kenyataan bahwa dunia yang kita huni kini begitu terhubung, instan, dan didominasi oleh kecanggihan digital. Kehidupan yang dulu penuh dengan ritual-ritual perlahan tergantikan oleh kemudahan yang ditawarkan oleh perangkat pintar, media sosial, dan algoritma yang mengatur hampir semua aspek kehidupan kita. Dalam skenario ini, muncul sebuah perumpamaan menarik yang menggugah: "kotoran manusia yang berwarna emas." Sebuah simbol yang mengajak kita untuk menilai lebih dalam tentang dunia modern kita yang penuh kilau tetapi juga penuh pertanyaan.
Teknologi telah memberikan banyak kemudahan, terutama bagi generasi yang kini terlahir dengan akses internet yang hampir tanpa batas. Sebut saja generasi Z dan Alpha, yang meskipun terkadang dianggap lebih mudah terjebak dalam ketergantungan digital, juga memiliki potensi luar biasa dalam mengadaptasi teknologi untuk menciptakan perubahan. Namun, perumpamaan “kotoran manusia yang berwarna emas” juga mengingatkan kita pada hal-hal yang mungkin tersembunyi di balik kesenangan sementara tersebut: apakah kita, sebagai manusia, kehilangan sesuatu yang lebih dalam dalam proses adopsi teknologi ini?
Buku Strawberry Generation memberikan gambaran tajam tentang ketergantungan generasi muda terhadap dunia maya, yang berpotensi mengikis kemampuan mereka untuk membangun hubungan sosial yang lebih mendalam. Dalam dunia yang semakin dipenuhi oleh ruang virtual, interaksi langsung menjadi lebih jarang, dan seiring dengan itu, hubungan yang tulus dan bermakna bisa tergeser oleh pertemuan-pertemuan dangkal yang terjadi di layar ponsel. Hal ini memunculkan kekhawatiran, apakah teknologi membawa kita menuju kehidupan yang lebih baik atau justru menghilangkan esensi yang sebenarnya kita butuhkan: kedalaman, keterhubungan emosional, dan kerja keras yang memupuk kualitas hidup.
Namun, meski ada banyak kritik terhadap dampak negatif teknologi terhadap interaksi manusia dan kehidupan sosial, kita juga harus melihat peluang yang ditawarkan oleh generasi muda ini untuk menciptakan makna baru. Generasi Z dan Alpha, meskipun sering disalahpahami, juga adalah pelopor dalam berbagai perubahan besar. Mereka lebih sadar akan isu-isu sosial dan lingkungan, lebih terbuka terhadap keragaman, dan lebih mampu mengadaptasi teknologi untuk memperbaiki kualitas hidup, bukan sekadar untuk kenyamanan. Mungkin saja, apa yang saat ini dipandang sebagai "kotoran" oleh sebagian orang, justru adalah bagian dari proses pemurnian yang memungkinkan dunia kita bergerak ke arah yang lebih inklusif, lebih berkelanjutan, dan lebih cerdas.
Dengan demikian, tantangan terbesar bagi generasi ini bukanlah semata-mata tentang apakah mereka harus memilih antara teknologi dan nilai-nilai tradisional, tetapi bagaimana mereka bisa menyeimbangkan keduanya. Mereka harus mampu mengintegrasikan inovasi dengan kedalaman emosional, teknologi dengan interaksi sosial yang lebih bermakna. Inilah yang akan menentukan apakah mereka bisa menciptakan masa depan yang bukan hanya cerah secara teknologi, tetapi juga kaya akan nilai-nilai manusiawi yang sejati.
Oleh karena itu, kita tidak seharusnya hanya khawatir tentang dampak negatif dari teknologi, tetapi lebih kepada bagaimana kita memberi ruang bagi generasi muda untuk membuktikan bahwa mereka dapat lebih dari sekadar apa yang tampak di permukaan. Mereka memiliki potensi untuk mengubah "kotoran emas" ini menjadi sesuatu yang jauh lebih berharga: sebuah dunia yang terhubung, tetapi tetap memiliki kedalaman, hubungan yang tulus, dan kualitas hidup yang bermakna.