Meninjau Ulang Esensi Realitas Postmodernisme Bersama Fredic Jameson

 

Gambar : Postmodernism 

*Oleh : Yusuf Kasim BakriMahasiswa UIN Alauddin Makassar.

CURHATAN MAHASIKSA - Pada awal tahun 1960-an, terdapat struktur masyarakat baru yang disebut sebagai “masyarakat post-industrial” (Daniel Bell), atau “masyarakat konsumen”, “masyarakat media”, “masyarakat informasi”, “masyarakat elektronik”, dan lainnya. Fenomena lahirnya realitas baru ini kemudian berkembang dan dikenal sebagai era postmodernisme.


Banyak orang yang beranggapan bahwa postmodernisme adalah penyempurna dari modernisme yang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern. Namun, sebagian yang lain berpendapat bahwa postmodernisme adalah paradoks kontras yang berseberangan dengan modernisme. Pendapat ini juga disampaikan oleh seorang kritikus budaya paling penting yang bernama Fredric Jameson.


Fredric Jameson dalam bukunya “Postmodernism or, The Cultural Logic of Late Capitalism” (1991) menjelaskan wacana postmodernisme dalam kebudayaan, dengan memaparkan beberapa elemen-elemen postmodernisme sebagai berikut:


1. Munculnya Distorsi Realitas di Media Sosial


Gambar : Distorsi Realitas di Media Sosial

Menurut Jameson, salah satu gejala postmodernisme adalah ditandai oleh kepura-puraan atau biasa disebut sebagai ”the waning of affect”. Gejala tersebut memberikan banyak sekali perubahan mendasar, baik perubahan dalam dunia objek (munculnya simulakrum), maupun perubahan dalam dunia subjek. Perubahan dalam dunia subjek yang dimaksud di sini adalah hilangnya eksistensi subjek individu yang memiliki ekspresi atau style yang unik dan personal serta keotentikan perasaan individual. Subjek individu di postmodernisme ini cenderung telah terfragmentasi, terbelah-belah hingga ke ranah emosi pribadi (Jameson, 1991: 10-11).



Contoh yang menarik dalam konteks sekarang ini adalah kasus komodifikasi sosok selebgram melalui pembentukan branding diri di media sosial Instagram. Menurut Jameson konstruksi semacam itu sebenarnya adalah tontonan belaka (spectacle) dan belum tentu merepresentasikan kepribadian asli selebgram tersebut. Akibatnya, fenomena ini menyebabkan munculnya euforia yang aneh ketika tubuh berhubungan dengan media elektronik, seperti adanya kepura-puraan atau pencitraan dalam diri tiap individu ketika di media sosial. Distorsi realitas seperti itu tentu berpengaruh terhadap kesehatan mental, seperti terjadinya penolakan atas karakter yang sebenarnya dimiliki akibat terlalu sering menampilkan kepura-puraan di hadapan publik.


2. Hilangnya Kesejarahan


Gambar : Kesejarahan


Hingar bingar kemewahan postmodernisme ini juga mengancam hilangnya rasa sejarah yang semula eksis di masyarakat. Dalam sudut pandang Jameson, hal itu menyebabkan “kanibalisasi atau peniruan acak terhadap gaya masa lalu”. Pemahaman ini membawa kita pada konsep kunci dalam postmodernisme, yakni pastiche (Jameson, 1991: 67-97). Pastiche adalah praktek peniruan atau imitasi mentah-mentahan atas sesuatu yang asli tanpa maksud-maksud tersembunyi apapun, tanpa motif kritik maupun parodi (Sean Homer: 104). Munculnya fenomena pastiche ini merupakan gejala runtuhnya historisitas, suatu keterputusan dengan sejarah, dan sekaligus gejala ketidakmampuan kita merepresentasikan pengalaman kekinian kita sendiri (Jameson, 1991: 21).


Fenomena pastiche ini acap kali divisualisasikan dalam film-film kekinian yang cenderung menekankan citra buatan (image) dengan isi cerita yang dibuat seolah nyata. Padahal jenis konsumsi budaya semacam ini sama sekali tidak menunjuk pada realitas konteks yang sesungguhnya, melainkan hanya mengeksploitasi pencitraan dan stylization yang hampa makna, yang ditujukan untuk komodifikasi dan konsumsi semata. Akibatnya, masyarakat hanya dicekoki cerita-cerita imitasi hasil kreasi sehingga lupa pada sejarah-sejarah yang seharusnya eksis dalam dimensi sosial bermasyarakat.


3. Munculnya Temporalitas Paradoks


Gambar : Temporalitas Paradoks 

Jameson memakai istilah schizophrenia untuk menandai temporalitas posmodernisme. Konsep ini berarti bahwa masyarakat yang hidup di era postmodernisme ini cenderung mencari sesuatu yang baru dan berusaha mengkonsumsi hal yang terbaru terus menerus guna memenuhi selera dan keinginan mereka. Manusia postmodern terjebak dalam “kekinian”, dan dalam kondisi itu membuatnya ingin selalu memenuhi hasrat kebaruan dan up to date secara lebih intens.


Artian, dari paparan tersebut dapat diperlihatkan dengan jelas bagaimana ruang budaya global postmodernisme telah menyediakan jebakan dan mengkooptasi subjek individual. Oleh karenanya dalam konteks ini, Jameson menawarkan dua bentuk strategi resistensi budaya untuk melawan logika postmodernisme.


Pertama, strategi homeopathic, seperti misalnya membuat gangguan budaya, membuat praktek-praktek bermakna perlawanan, dan juga menolak nilai-nilai yang dikomodifikasikan. Kedua, strategi cognitive mapping, seperti mendorong individu dan masyarakat untuk menciptakan budaya politik baru dengan menyadari the truth of postmodernism. Jameson mengajak kita untuk mulai memahami positioning diri, memegang prinsip hidup dan tetap menjaga jati diri, agar tidak mudah terbawa oleh derasnya arus postmodernisme.



Penulis : Yusuf Kasim Bakri

Editor   : Akbar Pelayati 





Lebih baru Lebih lama